Cari Blog Ini

Minggu, 12 Desember 2010

Menyadap Ilmu Manajemen Binatang

Masyarakat kita ternyata menerapkan metafora yang diilhami oleh binatang. Jika bicara Indonesia, entah benar apa tidak, banyak nama-nama tokoh yang tercatat di sejarah memakai nama binatang. Sebut saja, Gajah Mada, Lembu Sora, Hayam Wuruk, Lambung Mangkurat (dari kata lambu-lembu), Nara Singha Murti, Tiung Wanara, dll. Mungkin nama-nama tersebut untuk menggambarkan karakter tokoh bersangkutan.

Berkembang ke zaman modern, nama binatang digunakan sebagai nama merk bisnis, sebut saja Toyota Kijang, Mitsubishi Kuda, Isuzu Panther, Kacang Garuda, Merpati Airlines, Garuda Airways, Kacang Dua Kelinci, Kecap Bango, dll. Binatang dipakai juga dalam logo perusahaan atau organisasi, misalnya kuda laut (pertamina lama), rajawali (RCTI), ikan terbang (Indosiar), banteng (PDIP), dll. Logo binatang ini mungkin untuk menggambarkan karakteristik masing-masing organisasi tersebut.

Bahkan istilah-istilah populer juga menggunakan metafora binatang. Dalam bidang ekonomi, pasar lesu diistilahkan dengan BEARISH, pasar bergairah diistilahkan dengan BULLISH. Masih segar dalam ingatan kita kejadian CICAK dan BUAYA, atau orang seperti Gayus disebut TIKUS-TIKUS Kantor.

Bukan bermaksud belajar dari binatang, tetapi lebih mengambil perumpamaan dari sifat dan karakter binatang yang kemudian kita metaforakan menjadi "lesson learned" dari fenomena binatang. Personal yang cerdik dan banyak akal mungkin bisa dimetaforakan sebagai kancil, personal yang licik dan susah dipegang mungkin diperumpamakan sebagai ular, dan orang yang kuat dan tangguh mungkin dikiaskan sebagai banteng.

Begitu juga dalam organisasi, tim yang kompak dan memiliki kerjasama yang bagus disamakan dengan lebah, semut, atau penguin. Tim yang penuh perhitungan, disiplin, dan cepat berindak jika sudah pasti disamakan dengan buaya. Tim yang cerdik, licin, dan cepat mengantisipasi perubahan disamakan dengan tikus.

Belajar dari buku Animal Based Management, beberapa karakter binatang ternyata bisa digunakan untuk mempelajari karakteristik/strategi organisasi dan perusahaan besar yang mungkin bisa dijadikan pembelajaran untuk diterapkan di organisasi/perusahaan kita.

1. Bermusyawarah, kolaboratif, keputusan kolektif, diperumpamakan sebagai PENGUIN. Prinsip kerja sama tim seperti ini ternyata diterapkan oleh Wikipedia, YouTube, Wal-Mart, dan Linux.

2. Bahu membahu, bekerja kompak dan tim yang solid, tetapi tetap menerapkan kompetisi internal dengan semangat tetap saling menguntungkan (win-win, bukan zero-sum) diperumpamakan sebagai SEMUT. CNI, Coke dan Pepsi, Esia mungkin beberapa perusahaan yang menjalankan prinsip ini.

3. Berani bertindak (memulai) dan memiliki semangat bebas dari tekanan dan kondisi yang ada dikiaskan sebagai BURUNG. Dengan kemapuan terbang dan jangkauan pandangan dari atas, diibaratkan burung memiliki kebebasan menggapai mimpinya. Dengan melihat ke bawah yang semuanya terlihat kecil, terbang boleh jadi mendatangkan perasaan supremasi. Perusahaan yang tepat dengan filosofi burung adalah Mustika Ratu dan Blue Bird ketika mulai membangun bisnisnya hingga sekarang.

4. Setia, penuh penuh perhatian, dan loyal pada konsumennya diibaratkan sebagai ANJING. Hewan ini memiliki empati yang sangat besar. Perusahaan yang mungkin menerapkan cara ini adalah Sido Muncul, Nokia, dan Lion Air. Ketiga perusahaan ini menjalankan empathic design untuk memnuhi kebutuhan pelanggannya.

5. Cerdik, cepat melakukan antisipasi, selalu bergerak keluar dari comfort zone, dan siap menghadapi perubahan, cocok dengan karakteristik TIKUS. Dalam buku Who Moved My Cheese? Dapat ditarik pelajaran bahwa perubahan tak terelakkan, yang bisa dilakukan untuk terus bertahan hanyalah cepat melakukan antisipasi dan bertindak untuk mengubah situasi. Perusahaan yang memiliki karakteristik seperti ini adalah Apple, Amazon, dan Es Teler 77.

Dan masih banyak lagi metafora-metafora dari binatang yang bisa kita sadap ke dalam penerapan ilmu manajeman. Termasuk yang manakah organisasi/perusahaan Anda?

Semoga bermanfaat.

Sabtu, 27 November 2010

Rahasia Pikiran Bawah Sadar Konsumen

Bangun tidur, saya melihat majalah langganan yang tergeletak di samping TV. Antara mau nonton atau membuka-buka isi majalah yang sepertinya baru ditaruh oleh mbaknya anak-anak.
"Foto di cover yang aneh", pikir saya. Tidak seperti biasanya, cover yang sekarang ini mengusik saya untuk mengambilnya. Biasanya majalah ini gambar covernya ilustrasi berwarna warni yang menggambarkan tema utamanya, atau kadang-sekumpulan produk yang menurut saya "tumpangan"  iklan yang berharga sangat mahal.
Aneh... sekumpulan orang dengan baju rapi layaknya karyawan sebuah perusahaan sambil mengepalkan tangan. Ekspresi wajahnya penuh semangat. Judunya "10 PERUSAHAAN TERNYAMAN PILIHAN KARYAWAN". "Wah.... Menarik nih", pikir saya.
Sejak 2003 bekerja di kantor sebuah penerbitan, saya merasakan sesuatu yang mungkin sama dengan orang-orang di cover majalah tersebut. Nyaman, merasa dihargai, sehati, cocok, atau apa pun lah yang menggambarkan saya senang bekerja di perusahaan tersebut. Saya mencoba membuka-buka halaman demi halaman majalah tersebut. Terbesit dalam pikiran saya untuk segera mengetahui cerita perusahaan-perusahaan yang sudah diliput oleh wartawan majalah tersebut.
Namun, baru beberapa halaman....pikiran saya kembali terusik oleh satu tulisan yang mengupas sebuah buku. THE BUYING BRAIN...waduh kok pas banget dengan tren buku di salah satu penerbit kantor yang memang lagi getol menerbitkan buku-buku tentang rahasia dan potensi otak. Saya mulai baca tulisan tersebut, tapi sepertinya kurang menarik, atau mungkin didepannya terlalu bertele-tele. Tanpa sadar, otak saya memerintahkan mata untuk melirik tulisan paling akhir.

" Jadi, jika hanya mendengarkan laporan yang mereka (konsumen) artikulasikan-seperti yang dihasilkan penelitian survey- tentang apa yang mereka suka dan tidak suka, kita mungkin tersesat. Kesalahan inilah yang membuat sekitar 80% produk baru gagal di pasar."

Waduh.... Benarjuga ya...
Selama ini memang banyak produsen-produsen yang melakukan survey baik dilakukan sendiri maupun melalui lembaga survey yang pastinya dengan biaya yang lumayan. Tanpa kita sadari bahwa apa yang konsumen atau calon konumen ungkapkan melalui mulut dan tulisan belum tentu sesuai dengan otak bawah sadarnya. Bisa saja karena hal tertentu, para konsumen mengungkapkan keinginan yang belum tentu juga berasal dari bawah sadar otaknya.
Lalu bagaimana cara mengenali pikiran bawah sadar konsumen? Menurut buku ini adalah dengan konsep neuromarketing yang pada dasarnya adalah mempelajari sinyal otak ketika konsusmen melihat sebuah produk. Lebih jelasnya semoga ada di halaman-halaman buku ini (saya juga belum baca).
Yang jelas, hasil dari konsep neuromarketing bisa menjadi senjata yang sangat ampuh bagi bagian promosi, marketing, dan tentunya bagian produksi.

Semoga segera beredar bukunya di Jakarta.....

Minggu, 24 Oktober 2010

Bagaimana Menentukan Harga Jual Buku???

STRATEGI
PENENTUAN HARGA JUAL BUKU

Buku, menurut beberapa praktisi yang sudah bertahun-tahun menggelutinya merupakan salah satu perwujudan industri kreatif. Berbeda dengan saudara pendukungnya, “percetakan”, mesin pada industri buku adalah orang, sedangkan pada percetakan tentunya mesin cetak itu sendiri.
Dengan adanya perbedaan “mesin” tersebut, tentu saja ada banyak perbedaan strategi dalam menjalankannya. Salah satunya adalah strategi dalam menetapkan harga jual produk. Jika mesin yang menghasilkan produk tersebut adalah “mesin” dalam arti yang sebenarnya, penghitungan harga jual dapat dilakukan dengan program komputer yang sudah pasti, tinggal memasukkan variabel-variabel yang menyertainya. Misalnya kenaikan harga kertas, tinta, gaji pegawai dll. Sementara itu, penetapan harga jual buku tidak bisa ditetapkan demikian. Ada “rasa” yang menyertai penghitungannya agar harga jual produk tepat dan optimal, tidak sekadar “berapa modal/biaya yang dikeluarkan”.

Berdasarkan pengamatan di lapangan, ada suatu benang merah yang bisa ditarik (tentunya tidak sampai putus ya…he..he…) sebagai strategi penetapan harga jual sebuah buku. Berikut benang merah tersebut.

A. Cost-based Pricing
Hanya berpatokan pada biaya yang dikeluarkan dalam produksi buku. Biaya tersebut menyangkut biaya cetak, film, redaksi, dan bonus. Buku-buku yang harga jualnya memakai strategi ini biasanya buku standar dengan tema standar, belum ada pesaing, “tidak mudah ditiru pesaing”, dan pasar tidak terlalu sensitif harga. Intinya asal tidak rugi…..tanpa memperhitungkan apa pun, baik kemampuan daya beli pada produk bersangkutan, value-nya bagi pembeli, maupun tingkat persaingan.

B. Competitor-based Pricing
Berpatokan pada harga pesaing dengan tetap mempertimbangkan faktor-faktor:
- Nilai tambah buku
- Sosok dan tampilan buku
- Tidak rugi
Buku-buku pada kategori ini umumnya adalah buku yang sudah ada pesaingnya di pasaran. Sebelum memulai penyusunan buku kategori ini sebaiknya penerbit benar-benar memperimbangkan faktor-faktor di atas dan benar-benar melakukan efisiensi produksi agar dapat dikejar harga jualnya serendah mungkin di bawah harga pesaing dengan kualitas di atas pesaing….(pusing ya…….)

C. Value-based Pricing
Buku dijual dengan harga di atas cost pricing karena diyakini buku tersebut memiliki kekuatan jual bagus karena memang memberikan nilai guna bagi pembelinya. Biasanya buku kategori ini merupakan kategori tema unik yang belum ada di pasaran, pesaing tidak bisa mengikuti, penulis memiliki nilai jual, ada tujuan tertentu dari penerbit….(bukan tujuan iseng lho……), dll.

D. Market-based Pricing
Penentuan harga dengan mempertimbangkan kebutuhan dan kondisi pasar. Sangat disadari bahwa orientasi produksi sebuah buku adalah kebutuhan pasar. Dengan demikian pengetahuan tentang kondisi pasar mutlak harus diketahui. Strategi penentuan harga berdasarkan pasar ini sangat dipengaruhi oleh demand dan psikologi pasar. Terkait dengan demand, penerbit buku umumnya akan memberlakukan harga khusus ketika supply jauh lebih besar dari demand (ITO besar melebihi kebijakan perusahaan), dikenal dengan harga buku obral.
Sementara itu, psikologis pasar terkait dengan segmentasi yang ditetapkan oleh perusahaan. Harga jual akan sangat mempertimbangkan faktor geografi, psikografi, demografi, dan perilaku konsumen.